Terjebak Aman dalam Rutinitas
Aku tidak takut mengakuinya; aku takut setengah mati keluar dari rutinitasku. Semua orang bilang terjebak rutinitas adalah hal buruk, tapi pendapatku berbeda. Rutinitas itu aman. Rutinitas adalah sebuah jalan lurus. Rutinitas memungkinkan kita melihat arah kita pergi. Masa depan terbentang luas di hadapan kita dan kita bisa dengan masuk akal berasumsi bahwa kalau kita mengikuti rutinitas, kita akan sampai di ujung jalan. Itu mudah ditebak. Itu nyaman. Itu aman. Aku akan segera kehilangan rutinitasku, entah aku siap atau tidak, dan aku amat sangat ketakutan.
Selama lima setengah tahun belakangan, aku bekerja sebagai mekanik pesawat di United States Air Force. Sebelum itu, aku adalah mekanik CNC di sebuah cabang fabrikasi pesawat. Sebelumnya, aku bekerja sebagai kasir box office di bioskop lokal. Dan sebelum itu, aku adalah anak berumur lima belas tahun yang ingin menjadi penulis, tapi tahu bahwa aku perlu punya pekerjaan sungguhan kalau mau memiliki penghasilan yang mencukupi.
Intinya, aku tidak pernah menganggur dalam waktu lama, tapi lima bulan ke depan, aku akan jadi pengangguran. Rutinitasku yang aman dan nyaman akan menghilang.
Memang, alasanku kehilangan rutinitasku adalah alasan bagus. Tujuh bulan lalu, aku dan suamiku mendapat hasil tes kehamilan positif dan menjadi calon orangtua yang berbangga hati. Atau, lebih tepatnya, dia calon ayah yang bangga dan aku calon ibu yang ngeri saat mendengar kabar kehamilanku. Bahkan sebelum kami duduk dan mendiskusikan apa yang perlu kami diskusikan dan membuat keputusan tentang masa depan, aku tahu bahwa rutinitasku yang bisa ditebak, stabil, dan AMAN akan segera lenyap.
Kami memutuskan kehadiran bayi membuat gaya hidup militer kami tak mungkin dilanjutkan. Tidak ada hukum atau peraturan yang melarangku jadi ibu anggota militer. Ada ribuan perempuan di luar sana yang bisa mengerjakan kedua peran itu, dan aku hormat pada mereka. Akan tetapi, kenyataannya, gaya hidup kami memang berat. Aku dan suamiku adalah anggota tim yang sangat ketat dan sudah melakukan rotasi penugasan sejak tahun 2001, dan kecepatan tempo pekerjaan kami tidak pernah melambat. Selama tahun pertama perkawinan, kami terpisah karena harus menjalankan kewajiban penugasan lebih lama daripada yang kami kira. Rasanya berat, tapi kami berhasil melaluinya. Kami tahu semua risiko dan kerugiannya sebelum kami menikah.
Namun, sekarang kami akan punya bayi. Menurut peraturan, seorang ibu tidak boleh ditugaskan selama empat bulan pertama pasca-melahirkan. Namun, setelah itu, dia harus tetap pergi kalau ditugaskan. Kemungkinan aku ditugaskan memang kecil walaupun aktivitas tim kami sangat padat dan sering menugaskan orang, tapi memikirkan harus meningalkan bayi empat bulan untuk bekerja terasa terlalu berat bagiku. Aku dan Mike cukup kuat untuk hidup terpisah, tapi bayi kami tidak perlu melakukan itu. Jadi, aku memutuskan untuk berpisah dengan rutinitasku.
Aku belum memutuskan apa yang membuatku merasa lebih egois, memutuskan bahwa aku perlu tinggal di rumah bersama bayiku, atau merasa ketakutan karena meninggalkan kehidupanku yang dulu serba-mandiri. Suamiku sepenuhnya mendukung keputusanku menjadi ibu rumah tangga, tapi mau tak mau aku tetap merasa peranku dalam keluarga jadi berkurang. Dulu aku selalu punya penghasilan sendiri.
Dua puluh empat minggu kehamilan, kami tahu bahwa bayi kami adalah seorang laki-laki. Rasanya lebih mudah memperjuangkan keputusanku setelah putra kami punya nama. Namanya adalah Theodore.
Alih-alih mencemaskan masa depan, aku akan merangkulnya. Sejauh yang kuingat, saat tumbuh besar, aku selalu bilang ingin jadi penulis. Sulit untuk jadi penulis kalau kita terjebak dalam rutinitas, meskipun itu rutinitas yang kita sukai. Saat aku bergabung dengan Air Force, kukira aku akan terus berkarier di situ. Sekarang, aku menukar jaring keamanan itu demi seorang bocah kecil yang bahkan belum kutemui.
Hari ini, aku dan suamiku berkunjung ke klinik untuk menjalani USG dan aku melihat wajah Theo untuk pertama kalinya. Setidaknya, aku akan bisa melihatnya kalau saja mataku tidak dibanjiri air mata.
Kabar baiknya, tangisanku berbeda dengan tangisanku dulu saat harus hidup berjauhan dari suamiku. Kali ini aku ketakutan, tapi juga bahagia.
Sumber : Chicken Soup For The Soul