Accessibility Tools

Lompatan Beresiko

Date

Aku sedang di fase membosankan dalam hidup. Berat badanku naik, rambutku tidak karuan, dan pakaian kesukaanku adalah celana jins gombrong atau celana olahraga. Sepatuku adalah sepatu selop datar jelek dari karet, sempurna untuk membawaku menjalani hidup dengan lesu.

Sebagai guru, aku menghabiskan waktu luang dengan merajut dan membaca. Anak-anakku sudah dewasa dan punya kehidupan masing-masing, jadi tantangan membesarkan mereka sudah selesai. Hidupku jadi tidak berkesan.

Aku perlu terjun. Aku perlu mengambil risiko.

Ada sesuatu yang membuatku tertarik sekaligus takut pada saat bersamaan. Mantan ayah mertuaku menghabiskan masa paruh bayanya dengan berpartisipasi dalam kompetisi terjun payung kelompok. Ketika melihat foto-foto atau mendengarkan ceritanya tentang kompetisi, aku selalu berkata pada diri sendiri, “Suatu hari nanti.”

Sayangnya, dibutuhkan kematian seorang rekan kerja untuk mendorongku bertindak. Sesama guru—masih berumur tiga puluhan—meninggal setelah bergelut dengan penyakit kanker payudara. Dia meninggalkan seorang suami dan anak-anak yang masih kecil serta kehidupan yang seharusnya masih panjang di depannya. Aku terus berpikir bahwa suatu hari kelak aku bisa mengumpulkan cukup keberanian untuk terjun payung, tapi bagaimana kalau aku kehabisan kesempatan sebelum sempat melakukannya?

Sebelum sempat mengubah pikiran, aku mengangkat telepon dan menjadwalkan acara terjun payungku untuk Hari Sabtu depan. Aku nyaris tak bisa menahan jeritanku, yang merupakan campuran antara jeritan bersemangat dan ketakutan.

Waktu menyetir selama satu jam menuju pusat terjun payung, aku merasa seolah sedang menyetir menuju pemakamanku sendiri. Jelas ada ribuan orang yang telah melakukan terjun payung dengan selamat, tapi ada cukup banyak kecelakaan mematikan yang membuatnya dianggap olahraga berbahaya. Sebelum mereka memulai latihan, staf terjun payung menyuruhku mengisi formulir sebanyak enam lembar; setiap tanda tangan yang kutorehkan seakan mengatakan, “Jika parasut Anda tidak terbuka, itu bukan salah kami. Jika kaki Anda patah saat mendarat, itu bukan salah kami. Jika Anda meninggal, itu bukan salah kami.” Aku berhenti membaca formulir itu dan asal tanda tangan di tempat yang sudah ditandai. Aku tidak butuh diingatkan lagi tentang betapa berisikonya hal ini.

Setelah menonton video yang menggambarkan seperti apa lompatan terjun payung yang akan kulakukan kelak, aku bergabung dalam sesi empat mata dengan Brian, instrukturku. Terjun payung pertamaku adalah terjun tandem, yang artinya tubuhku akan diikat menyatu dengan instruktur.

Dengan bantuan Brian, aku belajar bahwa setelah lompat dari pesawat, aku harus melengkungkan punggungku dan merentangkan lengan. Brian mencontohkan beberapa pilihan posisi mendarat, tetapi dia meyakinkan bahwa dialah yang akan memutuskan posisi apa yang akan diambil beberapa meter dari daratan. Dia menjelaskan bahwa saat terjun payung nanti, akan ada beberapa penerjun payung berpengalaman dan beberapa pemula sepertiku, tapi penerjun berpengalaman akan lompat terlebih dahulu.

“Setiap kali ada penerjun yang lompat, kita akan bergeser mendekati ujung belakang bangku. Aku tidak akan mengikat tubuh kita bersama sebelum giliran kita tiba.” Brian membantuku memasang pakaian terjun. Semua orang masuk ke pesawat, dan kami pun terbang ke tengah awan.

Hanya butuh beberapa menit untuk mencapai ketinggian yang dibutuhkan, tetapi kepanikanku naik lebih cepat daripada pesawatnya. Bagian dalam pesawat terbang jadi panas—setidaknya, itu yang kurasakan. Seolah-olah aku berada dalam oven dan ovennya punya sayap. Jantungku berdebar keras seolah akan keluar dari dadaku. Teriakanku belum keluar dari tenggorokan, tetapi itu hanya tinggal menunggu waktu.

Saat para penerjun payung berpengalaman mulai beranjak dari bangku dan lompat ke langit, aku harus menunggu giliranku. Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau menunggu. Aku ingin langsung melompat terjun. Sekarang. Saat itu juga. Dan, aku tidak peduli apakah aku sudah diikat ke tubuh instrukturku atau belum.

Aku menahan diri agar tidak berteriak. Aku berhasil terus duduk sampai tiba giliranku terjun. Di belakangku, Brian mengaitkan tali kekangku ke talinya dan kami pun berdiri. Guru terjun payungku itu berjalan ke pintu pesawat yang terbuka dengan percaya diri. Namun, kakiku terasa seperti terbuat dari karet. Semenit sebelumnya, aku siap terjun sendirian. Sekarang, aku tidak yakin apakah keputusanku ini benar.

Begitu kami melompat ke langit biru, kegembiraan yang mengalir di pembuluh darahku benar-benar layak diperjuangkan. Di atasku ada langit. Di bawahku juga langit. Itu adalah pengalaman paling aneh—juga paling mengasyikkan—dalam hidupku.

Ketika terjun melompat, rasanya kami benar-benar bebas.

Aku takkan bohong. Waktu Brian memberi sinyal bahwa sudah saatnya menarik tali parasut, aku lega parasutnya membuka. Dengan kanopi nilon di atas kami, kupikir risiko terparahku adalah patah kaki, tapi setidaknya aku tak perlu cemas terempas ke tanah dan tertindih bagaikan telur.

Akhirnya kami kembali di daratan dan menarik parasut kami. Adrenalinku masih terpompa di darah. Dan aku tahu. Aku tahu. Hidupku takkan pernah sama lagi. Bahkan saat aku berjalan kembali ke pusat terjun payung, aku masih merasa tinggi di langit.

Aku tak lagi menjalani hidup dengan lesu, semuanya berkat satu lompatan itu.

Sumber : Chicken Soup For The Soul

More
articles